Kedudukan Wanita Dalam al-Quran dan Hadits

Kedudukan Wanita Pra-Islam

BAGI umat-umat sebelum Islam wanita dianggap sebagai makhluk yang rendah dan hina. Wanita dianggap sebagai makhluk lemah, tidak sempurna, dan bahkan dianggap sebagai pangkal keburukan dan bencana.[1]

“Keberadaan wanita merupakan sumber utama bagi kehancuran dunia. Wanita ibarat pohon beracun; luarnya tampak indah, namun ketika burung-burung pipit memakannya, mereka akan mati seketika.” Demikian  pernyataan Socrates, salah satu filosof besar Yunani, ketika mengemukakan pandangannya mengenai wanita. Pada gilirannya, pernyataan Socrates ini menginspirasi masyarakat Yunani untuk menilai perempuan dengan pandangan yang rendah dan hina.

Bagi masyarakat Yunani perempuan tak lebih dari sekadar komoditas yang dapat diperjual-belikan. Wanita, bagi mereka, tidak memiliki hak apapun, karena semua hak hanya dimiliki oleh kaum laki-laki. Atas dasar ini, mereka mengganggap kaum perempuan tidak berhak mendapat harta warisan dan mengelola harta.

Sebagaimana masyarakat Yunani, masyarakat Romawi juga memiliki pandangan bahwa wanita adalah makhluk yang tidak berharga, tidak memiliki ruh dan tidak memiliki hak apapun. Sehingga tidak terlalu mengherankan ketika masyarakat Romawi berlaku semena-mena terhadap kaum perempuan. Perlakuan bejat masyarakat Romawi ditunjukkan melalui beragam penyiksaan terhadap kaum perempuan. Satu di antaranya adalah menyiram perempuan dengan minyak mendidih ke sekujur tubuhnya dan diikat di tiang. Ada juga wanita yang mendapat penyiksaan dengan diikat pada seekor kuda, kemudian kuda itu dilarikan dengan cepat hingga perempuan itu meninggal.

Perlakuan bejat lainnya adalah menggantung kehidupan kaum wanita; ketika belum menikah tergantung pada ayahnya, ketika sudah menikah tergantung pada suaminya, ketika sudah tua tergantung pada laki-laki. Dengan demikian, benarlah ungkapan yang menyatakan bahwa perempuan senantiasa berada di dalam rahim (tergantung); sebelum lahir, ia berada dalam rahim ibunya, ketika lahir ia berada dalam rahim orang tuanya, setelah menikah ia berada dalam rahim suaminya, dan setelah meninggal ia berada dalam rahim bumi.

Jadi, bagi masyarakat Yunani dan Romawi, perempuan tidak mempunyai hak untuk memiliki, menggunakan dan mengelola harta. Perempuan tidak berhak memerintah atau melarang, mewarisi, memiliki dan menggunakan harta. Dalam tradisi Yunani-Romawi, jika seorang perempuan memiliki harta, secara otomatis harta tersebut menjadi milik pemimpin keluarganya (laki-laki).

Sementara itu, bagi bangsa India, sebagaimana disebutkan dalam aturan manu, perempuan dianggap sebagai pelayan bagi suami dan ayahnya. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan hartanya. Alih-alih menggunakan hartanya, mereka bahkan dianggap tidak memiliki harta milik mereka sendiri. Karena semua harta yang dimiliki perempuan kembali pada suami, ayah, atau anak laki-lakinya.

Bagi masyarakat India, perempuan dituntut untuk selalu setia kepada suaminya. Hanya, kesetiaan tersebut harus dibuktikan dengan cara yang teramat kejam. Kesetiaan seorang perempuan pada suaminya ditunjukkan dengan membakar diri atau dikubur hidup-hidup untuk mengikuti suaminya yang telah meninggal.

Adapun masyarakat China berpandangan bahwa laki-laki diperkenankan menjual istrinya, bahkan menguburnya hidup-hidup. Dalam tradisi Buddha, perempuan dipandang sebagai makhluk kotor yang suka menggoda laki-laki yang ingin menjadi suci. Dalam tradisi Buddha, kaum perempuan tidak dapat menjadi Brahma (pencipta; dewa tertinggi), Sakraa Dernam Indra (dewa pelindung kaum Buddha), Mara (setan penghancur kehidupan dan kemauan manusia), dan Raja dari empat penjuru (utara, selatan, timur, dan Raja Emas, perak, kuningan dan besi). Menurut tradisi Buddha, semua dewa harus dari kalangan laki-laki.

Pandangan yang tidak beradab ini juga dapat dijumpai dalam undang-undang Hammurabi. Dalam aturan tersebut wanita tidak hanya diposisikan sebagai budak dari kaum laki-laki. Tetapi, lebih dari itu, perempuan dianggap layaknya binatang peliharaan yang dapat diperjual-belikan serta tidak mempunyai hak kepemilikan dan penggunaan harta.

Bagi kaum Yahudi, kedudukan wanita tak lebih dari pelayan yang bahkan boleh dijual oleh ayahnya sendiri. Bagi Yahudi, perempuan adalah makhluk laknat karena telah menggoda Adam u memakan buah pohon khuldi. Atas dasar ini, masyarakat Yahudi berkeyakinan bahwa wanita memiliki dosa bawaan yang diwariskan oleh nenek moyang mereka bernama Hawa, istri Nabi Adam u.

Bagi kaum Yahudi perempuan yang haid adalah makhluk kotor yang dapat mengotori setiap apa yang disentuhnya. Menurut pandangan Yahudi, seorang wanita tidak berhak mendapat warisan dari ayahnya manakala ia memiliki saudara laki-laki di dalam keluarganya. Alih-alih mendapat warisan, bagi Yahudi perempuan justru termasuk sesuatu yang boleh diwariskan layaknya barang. Jika suaminya meninggal, misalnya, ia akan diwariskan kepada wali suaminya yang terdekat.

Sementara bagi kaum Nashrani, wanita tak lebih dari sekadar makhluk yang disebut setan. Pastur Bona Ventur menyatakan, “Jika kalian melihat wanita, janganlah kalian mengira sedang melihat manusia atau binatang, melainkan yang kalian lihat adalah setan. Dan apa yang kalian dengar sebenarnya adalah suara ular.”

Sementara itu, perlakuan bangsa Arab sebelum Islam tidak jauh berbeda dengan perlakuan bangsa Romawi, Yunani, China, Buddha, Yahudi dan Nashrani. Umumnya, masyarakat Arab memandang wanita sebagai makhluk lemah dan hina. Bagi masyarakat Arab pra-Islam, wanita tidak memiliki hak-hak pribadi serta hak miliki atas sesuatu.  Bahkan, bagi sebagian masyarakat Arab, kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib keluarga. Sehingga mereka tidak segan untuk mengubur anak-anak perempuannya dalam keadaan hidup-hidup.

Bahkan, pandangan yang merendahkan kaum wanita sebagaimana dijelaskan di atas, terus bergulir sampai abad pertengahan. Dalam undang-undang umum Inggris, misalnya, ditetapkan bahwa wanita tidak termasuk bagian dari warga negara. Wanita juga tidak memiliki hak-hak pribadi dan hak milik atas sesuatu, bahkan terhadap pakaian yang mereka kenakan. Parlemen Inggris, tepatnya pada masa pemerintahan Henry VIII, mengeluarkan undang-undang yang melarang wanita membaca kitab Injil karena mereka dianggap makhluk najis.

Parlemen Scotlandia, tepatnya pada tahun 1576 M, mengeluarkan undang-undang yang melarang pemberian kekuasaan terhadap wanita. Pada tahun 586 M, Prancis menyelenggarakan konferensi guna membahas dan menjawab pertanyaan: apakah perempuan termasuk manusia atau bukan? Pada pertemuan tersebut diputuskan bahwa, wanita adalah manusia yang diciptakan untuk melayani laki-laki. [2]

 

Penghargaan Islam Kepada Wanita

KETIKA kaum wanita dilanda krisis ketidak-adilan serta perlakuan-perlakuan yang menistikan, Islam hadir dengan konsep yang sama sekali berbeda dengan aturan-aturan manapun. Islam datang untuk memberangus ketidak-adilan serta perlakuan-perlakuan buruk yang menistakan kaum wanita. Sehingga, kehadiran agama Islam menjadi semacam oase yang menyudahi dahaga kaum wanita yang mengharap adanya penetapan hak dan perlakuan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Islam datang untuk memberi penghargaan serta penghormatan yang sangat tinggi kepada kaum perempuan.

.

Dalam sebuah hadis riwayat Ummu Salamah r.a. dikisahkan: Aku bertanya kepada Rasulullah r, “Mengapa kami, kaum perempuan, tidak disebutkan (keutamaannya) dalam al-Quran sebagaimana kaum laki-laki?” Rasulullah tidak segera menjawab. Tetapi, pada kesempatan yang lain, aku melihat beliau berdiri di atas mimbar. Ketika itu, aku sedang menyemir rambut. Begitu selesai menggulung rambut, aku masuk ke salah satu kamar di rumahku. Kupasang pendengaranku di dekat atap masjid. Aku mendengar Rasulullah r bersabda: “Wahai manusia… sesungguhnya Allah I berfirman dalam kitab-Nya: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang memeluk Islam, laki-laki dan perempuan yang beriman, laki-laki dan perempuan yang taat (kepada Allah I), laki-laki dan perempuan yang (berbuat) benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk,  laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatan, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah I, bagi mereka, Allah I telah menyediakan ampunan dan pahala yang besar. (QS. Al-Ahzâb [33]: 35).” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan al-Hakim).

Melalui hadis ini, kita dapat menangkap adanya kegelisahan dan kekhawatiran kaum perempuan yang hidup pada zaman Rasulullah r. Karena di dalam al-Quran keutamaan mereka tidak disebutkan sebagaimana keutamaan kaum laki-laki. Dengan tidak disebutkan di dalam al-Quran, perempuan pada masa itu menilai bahwa hal itu menunjukkan kedudukan mereka tidak seperti kedudukan laki-laki, meski mereka telah menunaikan segala kewajiban mereka. Mereka juga merasa bahwa kebajikan mereka tidak akan pernah setara dengan kebajikan yang dilakukan oleh kaum laki-laki.

Maka dari itu, al-Quran memberikan ketenangan kepada kaum perempuan dan menghilangkan kerasahan serta keraguan mereka. Dalam hal ini, Allah I mengungkapkan derajat dan kedudukan perempuan dalam al-Quran. Al-Quran juga menegaskan, bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam upaya mencapai kedudukan tertinggi di sisi Allah I serta mendapatkan ampunan dari-Nya.

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa amalan sederhana yang dilakukan oleh kaum wanita, pahalanya dinilai setara dan sebanding dengan amalan kaum laki-laki yang berjuang di jalan Allah I dengan berperang melawan musuh-musuh Islam.

Adalah Asma binti Yazid al-Asyhaliyah yang datang menemui Rasulullah r guna menanyakan kedudukan serta tugas-tugasnya sebagai perempuan.

Asma berkata, “Aku adalah wanita yang diutus kaum perempuan untuk menemuimu. Sesungguhnya belum pernah ada seorang wanita, baik di timur maupun di barat, yang terdengar darinya ungkapan seperti apa yang akan aku ungkapkan, atau belum terdengar seorang pun yang mengemukakan seperti pendapatku.”

“Sesunnguhnya, Allah I mengutusmu kepada seluruh laki-laki dan wanita, sehingga kami beriman kepadamu dan Tuhanmu. Akan tetapi, sesungguhnya kami, para wanita, terbatasi dan terkurung oleh dinding-dinding kalian (kaum laki-laki), memenuhi syahwat kalian dan mengandung anak-anak kalian.”

“Sesungguhnya kalian, para lelaki, mempunyai kelebihan daripada kami dengan berkumpul dan berjamaah, menjenguk orang yang sakit, menghadiri janazah, menunaikan ibadah haji demi ibadah haji, dan—yang paling mulia di antara semua itu adalah—berjihad di jalan Allah I.”

“Sesungguhnya, jika salah satu dari kalian keluar untuk menunaikan ibadah haji, menghadiri pertemuan atau berjaga di perbatasan, maka kamilah yang menjaga harta kalian, yang menyucikan pakaian kalian, dan mengasuh anak-anak kalian. Lalu adakah kemungkinan bagi kami untuk menyamai kalian (kaum laki-laki) dalam kebaikan, hai Rasulullah?”

Mendengar perkataan Asma binti Yazid al-Asyhaliyah, Rasulullah r lantas menoleh kepada para sahabatnya serata bersabda, “Apakah kalian mendengar perkataan wanita ini? Sungguh, adakah yang lebih baik daripada apa yang dikatakannya berkaitan dengan urusan agamanya ini?”

Para sahabat menjawab, “Hai Rasulullah, kami tidak menduga bahwa wanita ini yang akan ditunjuk untuk perkataan tersebut.”

Kemudian Rasulullah r menoleh kepada Asma binti Yazid al-Asyhaliyah seraya bersabda, “Pergilah kepada wanita mana saja. Dan beri tahu mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah satu di antara kalian (kaum wanita) dalam memperlakukan suaminya, mencari kerelaan suaminya dan menuruti keinginannya, dapat mengalahkan semua itu.”

Mendengar sabda Rasulullah r itu, Asma binti Yazid al-Asyhaliyah pergi dengan penuh suka cita. Kemudian, ia menyampaikan berita gembira itu kepada kaumnya.[3]

Melalui hadis ini, kita dapat melihat bagaimana cara Islam memperlakukan dan menempatkan kaum wanita. Dan kitapun juga dapat melihat dengan jelas dan terang, seterang matahari jam dua belas, tentang adanya perbedaan yang sangat besar antara perlakuan Islam dengan perlakuan umat-umat sebelum Islam terhadap kaum wanita.

Selanjutnya, masih dalam konteks penghargaan Islam terhadap kaum wanita, Allah I berfirman di dalam al-Quran:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات [49]: 13)

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah I ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah I Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât [49]: 13).

Ayat ini secara tegas menjelaskan bahwa di hadapan Allah I kaum laki-laki tidaklah lebih mulia dibandingkan kaum perempuan kecuali atas dasar ketakwaannya. Bagi Allah I, hanya ketakwaanlah yang menjadi barometer tingkat ketinggian derajat seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga, seorang laki-laki tidak dibenarkan menklaim dirinya memiliki derajat lebih tinggi dibanding perempuan, terkecuali ia mengunggulinya dalam segi ketakwaan. Jadi, tidak ada siapapun yang mengungguli siapapun, kecuali atas dasar ketakwaannya di sisi Allah I.

Dalam ayat yang lain Allah I berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا (النساء [4]: 124)

“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita, sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.” (QS. An-Nisa [4]: 124).

Ayat ini dengan sangat tegas menyatakan bahwa dalam mengerjakan amal-amal saleh, kedudukan laki-laki dan perempuan adalah setara, tidak ada diskriminasi. Artinya, laki-laki atau perempuan yang beramal saleh dalam keadaan beriman kepada Allah I, sama-sama berhak menempati surga yang telah dipersiapkan oleh Allah I. Baik laki-laki atau perempuan, keduanya sama-sama berhak untuk mendapatkan karunia dari Allah I dan mendapatkan anugerah-Nya.

Selanjutnya, dalam onteks hubungan orang tua dengan anaknya, Allah I berfirman:

وَوَصَّيْنَا الإنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حُسْنًا (العنكبوت [29]: 8)

“Dan Kami wajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada dua orang ibu-bapaknya.” (QS. Al-Ankabut [29]: 8).

Ayat ini berbicara bagaimana seorang anak harus berbakti kepada orang tuanya. Dalam ayat ini, perintah berbakti kepada orang tua tidak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelaminnya, karena ayat tersebut menggunakan redaksi kedua orang tua yang berarti orang tua laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, orang tua laki-laki dan orang tua perempuan sama-sama berhak untuk mendapat perlakuan baik dari anak-anaknya. Malah, dalam salah satu hadis nabi, dalam konteks penghormatan seorang anak terhadap orang tuanya, disebutkan bahwa orang tua perempuan mendapat porsi penghormatan yang lebih tinggi dibanding orang tua laki-laki. Rasulullah r bersabda:

مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ، قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أَبُوكَ (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)

“Siapakah orang yang paling berhak untuk aku gauli dengan baik?” beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya, “Lalu siapa?” beliau menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Ia bertanya lagi, “Lalu siapa?” Nabi menjawab, “ayahmu.” (HR. Al-Bukhari-Muslim).

Hadis ini secara tegas menjelaskan bahwa, bagi seorang anak, ibu berhak mendapat penghormatan tiga kali lebih tinggi darinya dibandingkan ayahnya. Ini adalah salah satu bukti bahwa Islam sangat menghormati kaum perempuan, terutama seorang ibu. Bahkan, menurut salah satu hadis Nabi yang lain, surga seorang anak berada di bawah telapak kaki seorang ibu. Luar biasa!

Selanjutnya, dalam konteks hubungan suami istri, Allah I berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا (النساء [4]: 19)

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa [4]: 19).

Ayat di atas secara tegas memerintahkan laki-laki untuk memperlakukan istrinya dengan cara-cara yang baik. Bahkan ketika seorang laki-laki (baca: suami) mendapati sesuatu yang tidak baik pada pasangannya, Allah I memerintah seorang suami untuk bersabar dan tetap memperlakukan istrinya dengan cara yang baik. Bukankah ini merupakan bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita?

Dalam sebuah hadis, Rasulullah r bersabda:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ أَخْلَاقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ (رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ)

“Orang beriman yang paling mulia keimanannya adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan orang yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik sikapnya pada istrinya.” (HR. At-Turmudzi).

Melalui hadis ini, dapat dipahami bahwa ketika Rasulullah r mengaitkan kualitas kebaikan seseorang melalui perlakuannya terhadap istrinya (perempuan), itu juga berarti bahwa Rasulullah r mendorongan umat Islam, mendorong segenap laki-laki yang berstatus sebagai suami, untuk memperlakukan istrinya dengan cara yang baik, dengan mencintai, menyayani, menghormati dan memberikan hak-hak yang sepatutnya didapatkan oleh sang istri. Bukankah ini juga merupakan bentuk penghormatan Islam terhadap kaum wanita?

Dalam hadis yang lain, Rasulullah r bersabda:

أَلَا إِنَّ لَكُمْ عَلَى نِسَائِكُمْ حَقًّا وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا (الحديث)

“Ingatlah! Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas istri-istri kalian. Dan istri-istri kalian juga mempunyai hak atas kalian.” (Al-Hadits).

Melalui hadis di atas, dapat dipahami bahwa Islam mengatur hak-hak suami istri dalam bingkai kewajiban yang saling mengikat satu sama lain, di mana masing-masing suami-istri berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasangannya. Keduanya, sama-sama dikenai kewajiban untuk saling mengisi dan memberi, bukan hanya menerima. Sehingga dengan demikian, terwujudlah suatu hubungan yang dibangun di atas dasar keadilan yang tidak memberatkan terhadap salah satu pasangan.

Rasulullah r juga bersabda:

مَنْ صَبَرَ عَلَى سُوءِ خُلُقِ امْرَأَتِهِ أَعْطَاهُ اللهُ مِنَ الْأَجْرِ مِثْلَ مَا أَعْطَى أَيُّوبَ u عَلَى بَلَائِهِ (الحديث)

“Barangsiapa bersabar atas keburukan perangai istrinya, maka Allah I akan memberinya pahala seperti pahala yang diberikan kepada Nabi Ayyub u atas ujiannya.” (Al-Hadits).

Melalui hadis ini, kita dapat memahami betapa Islam sangat mengasihi serta menghormati kaum wanita. Bagaimana tidak? Ketika Islam memberikan pahala yang sedemikian besarnya terhadap seorang suami yang bisa bersabar atas perangai buruk istrinya, itu berarti Islam mendorong seorang suami (laki-laki) untuk memperlakukan istrinya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Jika sudah demikian, bukankah berarti Islam sangat mengasihi dan menghormati kaum wanita?

Meski demikian, harus diakui bahwa kekerasan dalam rumah tangga, deskriminasi upah terhadap kaum wanita, eksploitasi, pelecehan dan lain sebagainya terus ada hingga saat ini. Tetapi, kita harus meneliti lebih jauh: di manakah letak akar masalahnya? Apakah gender yang harus menanggung beban tertuduh dari segala praktik ketidak-adilan itu sebagaimana yang dikampanyekan oleh feminisme selama ini? Juga, apakah hal semacam ini hanya terjadi pada Muslimah dan tidak pada wanita-wanita lain yang hidup di atas dasar-dasar kebebasan?

Pada dasarnya adanya ketidak-adilan itu dapat disebabkan oleh ketidak-adilan suatu undang-udang atau kebejatan moral invidu. Jadi, dalam masalah ketidak-adilan, kekerasan dalam rumah tangga, deskriminasi, eksploitasi dan pelecehan, siapapun tidak boleh menyematkan beban tertuduh kepada siapapun dan aturan-aturan manapun, apalagi aturan Islam. Karena Islam adalah agama datang dengan membawa konsep kasih sayang, keadilan, penghormatan, penghargaan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sehingga, jelaslah kekeliruan kelompok yang menyatakan adanya ketidak-adilan terhadap wanita dalam aturan Islam, seperti pembagian harta waris yang tidak sepadan dan lain sebagainya.

Setelah membaca, mengamati dan memahami pandangan dan perlakuan umat-umat sebalum Islam terhadap kaum wanita, kemudian membandingkan dengan bagaimana pandangan dan cara agama Islam memperlakukan wanita, sudah seharusnya kaum Muslimah bersyukur dan merasa bangga akan identitas ke-Islamannya. Bersyukur dan merasa bangga yang kemudian dimanifestasikan dalam bentuk pemasrahan dan pengabdian kepada penciptanya.

[1] Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, hal. 22

[2] Ibid, hal. 22-24, Kitâbul Mar’ah al-Muslimah, hal. 5-7

[3] HR. Al-Baihaqi

Tinggalkan komentar